Global Warming
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami ucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami haturkan sholawat dan salam
kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita ke zaman
yang terang benderang.
Kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Berkat dorongan serta bantuan
mereka kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan penuh kekurangan. Maka dari itu, kritik maupun saran yang sifatnya
membangun dari berbagai pihak sangat diperlukan demi menyempurnakan makalah
ini. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat menjadi bahan informasi dan
penunjang bagi kita semua.
Pasuruan, 31 Maret 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Latar belakang
disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh
dosen pengajar. Makalah ini membahas tentang Pemanasan global atau
global warming.
Makalah ini
disusun berdasarkan tentang perbincangan yang sedang hangat dibicarakan oleh
dunia. Pemanasan global belum menemukan titik terang dalam penanggulangannya.
Disini penulis berusaha menerangkan materi yang dibutuhkan sebagai referensi
agar dapat menyempurnakan topik yang akan diperbincangkan.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan
makalah ini penulis akan membahas tentang salah satu fenomena dunia yang saat
ini mengancam yaitu Pemanasan Glogal. Dalam pembahasannya, penulis akan
membahas banyak tentang : a. Pengertian Pemanasan Global b. Penyebab Pemanasan
Global c. Mengukur Pemanasan Global d. e.
Dampak Pemanasan Gobal
1.3. Tujuan
Tujuan
disusunnya makalah untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan. Selain itu
penyusunan ini juga untuk membuka jendela pengetahuan tentang permasalahan yang ada saat ini seperti masalah Pemanasan Global yang
sudah hampir kita rasakan. Dalam penulisan makalah ini penulis mengharapkan
agar mahasiswa dapat mengetahui pengertian, hubungan pemansan global dengan
efek rumah kaca, penyebab, dampak dan mencari solusi bagaimana mengatasi
pemanasan global.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Pemanasan Global
Pemanasan global (bahasa
Inggris: Global warming) adalah
suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ±
0.18 °C (1.33 ±
0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu
rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan
besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah
kaca. Kesimpulan
dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik,
termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak
setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan
meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan
angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda
mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model
sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus
pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan
akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah
kaca telah
stabil. Ini
mencerminkan besarnya kapasitas
kalor lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya
intensitas fenomena cuaca yang ekstrem,[2] serta
perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai
jenis hewan.
Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah
mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan
bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan
bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi
perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang
harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau
untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar
pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol
Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas
rumah kaca.
b.
Penyebab Pemanasan
Global
Efek rumah kaca
Segala sumber
energi yang terdapat di Bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek,
termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah
dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian
dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap
di atmosfer Bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan
memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya
panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata
tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas
tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin
banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca
ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar
15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C
(59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi
hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi
sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan
mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik
Anasir penyebab
pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih
banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara
sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca
yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2
sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir
konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki
usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan
balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila
dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan
memantulkan sinar matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya
menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail
tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit
direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim
(sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan
Pandangan IPCC ke Empat).
Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan
dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam
semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan
memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang
mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik
positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya
tanah beku (permafrost) adalah
mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang
meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan
lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini
diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga
membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon
yang rendah.
Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut
terjadi mulai akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga
tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa
hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University memperkirakan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata
global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman
saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah
kaca dibandingkan
dengan pengaruh matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari
debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan
sensitivitas iklim terhadap pengaruh matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan
bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan"
dari matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan
kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun
terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara pemanasan global dengan variasi matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output matahari
maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
c.
Mengukur Pemanasan
Global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2
di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuwan
beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata
global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang
bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year,
mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil
pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa
memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin
menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu
terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi
lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang
menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data
statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya,
terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan
dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga
panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data
diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih
akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan.
Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa
sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun
1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi
yang paling panas.
Dalam laporan
yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius
(1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut
terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi
peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0
hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga
memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap
terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. Karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun
sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat
besar.
Model iklim
Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer
berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamika fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan
keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan
gas-gas rumah
kaca berefek pada
iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca pada masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan
berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan
memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan
pemodelan iklim, IPCC memperkirakan
pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga
11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab
perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang
teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami
maupun aktivitas manusia.
Model iklim
saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global
hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua
aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi
antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas
manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975
didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar
model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa
depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari
laporan Khusus terhadap skenario emisi (Special Report on Emissions Scenarios/SRES) IPCC. Yang jarang
dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2
SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2).
Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan
juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap
model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan
dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah
model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.
d.
Dampak Pemanasan
Global
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model
tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak
pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim mulai tidak stabil
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi
utara (Northern
Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang
terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami
salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah
subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih
cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah yang
hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh
lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan
membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan
(lihat siklus air). Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah
hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit
pemanasan. Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam
seratus tahun terakhir ini[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari
tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin
akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan
menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode
yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi
dan lebih ekstrem.
Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut
diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan
tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama
sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka
laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi
peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inci) pada abad ke-21.
Perubahan
tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing,
pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk
melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat
melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit
kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan
50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun.
Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Everglades, Florida.
Suhu global cenderung meningkat
Orang mungkin
beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan
dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat.
Bagian selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan
dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan
pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air
irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek
pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam
pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas
pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru
karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan
menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan
mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga
akan musnah.
Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca
dan lautan dapat
mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan
muncul kelaparan dan malagizi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan
permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian
dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malagizi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran
ekosistem dapat memberi
dampak pada penyebaran penyakit melalui air (waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian demam berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan iklim
ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq aedes aegypti), virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang
target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada
beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan
perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan
iklim (climate change) yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang/kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi
Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease.
Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak
terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran
pernapasan seperti asma, alergi, coccidioidomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
e.
Pengendalian Pemanasan
Global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang
dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah
pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi
efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin
berubahnya iklim pada masa depan.
Kerusakan yang
parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi
dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya,
pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih
tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor
(jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara.
Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini
untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua
pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen
karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang
paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak
lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh
dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak
area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan
kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan
pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini
adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin
bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan
(menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak
bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas
ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat
kembali ke permukaan.
Salah satu
sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi.
Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon
dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih
sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan
batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan
limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional
Kerja sama
internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang
mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini,
yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang
memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk
memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990.
Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius,
menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi,
pada tahun 2001, Presiden
Amerika Serikat yang baru
terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan
menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan
pengurangan karbon dioksida ini. Protokol Kyoto tidak berpengaruh apabila negara-negara industri yang bertanggung jawab
menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi
ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian
ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang
mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan
segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena
negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan
menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol
ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan
perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar
fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 miliar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 miliar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan
uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih
effisien.
Pada suatu
negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh
walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil
mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam
mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun
1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum
terselesaikan seperti peraturan, metode dan penalti yang wajib diterapkan pada
setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator
merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang
sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak
digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan
karbon. Sebagai
contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya
yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila
sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi
gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil
memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam
posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama
mereka yang ada di Uni Eropa.
Semoga bermanfaat dan mohon maaf apabila ada kesalahan atau kekurangan^^
Komentar
Posting Komentar